Mengasuh Musim Rindu

Kini kita akan sedikit lebih mengerti tentang lagu ombak siang & malam yang mengibarkan rambutmu.
Sayap patah merpati yang tersangkut ranting kering menjadi tak berarti. Seperti ribuan kata-kata dari buku harianku yang
menggelembung bagai balon busa yang ditiupkan anak-anak kecil, lalu pecah di kebun belakang. Akupun
meloncat keluar dari jiwamu, karena aku ingin melihat dirimu yang sesungguhnya.


Saat kau membersihkan halaman rumah dari daun-daun yang lelah, aku telah mengembara ke
tempat-tempat yang pernah kau kunjungi, bertamu dan bertanya kepada rumput hijau, tapi tak jua menemukanmu,
kau di siitu?
Sayang, di mana dirimu?

Jangan kau hanya menakar keringat, menimbang beban yang semakin memberat, dan di tikungan jalan kau rubuh, menikam-nikam diri dengan rasa yang asing.
Jangan sayang ...
Dengarlah pengembaraan ini, matahari yang tegar menyeret cakrawala, dimanakah rasa lelah ia timbang pucuk-pucuk angin yang setia memimpin musim?
Di manakah rasa bosan ia tanggalkan? Dan kini lihatlah diri kita.

Pohon tak pernah menghitung berapa puluh ia akan berbuah,
bunga tak pernah menjerat diri untuk sebuahkeindahan.
Dan engkau, kenapa menangis di tepi jalan ? Sementara kita tahu, angin melintas bagai arus deras
sungai, mampu menghanyutkan siapa saja yang menyelami jiwamu saat matahari miring 175 derajat ke
cakrawala, dan hanya bila diri kita adalah jiwa yang penuh cinta, jiwa yang selalu riang dengan irama
seperti tawa-tawa camar di atas laut.

Perjuangan kita semakin bergemuruh, semakin kuat dengan angin tegar yang mengasuh musim
yang lapang, seperti langit menyediakan matahari untuk kita bangkit dengan penuh kemuliaan cinta
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar